( NH.DINI )
Aku
hampir 10 tahun
mengajar di Purwodadi. Aku tinggal bersama suami, 3 orang anakku dan uwakku.
Suamiku bekerja sebagai montir di sebuah perusahaan di kota. Aku dan keluargkua pindah ke Semerang
karena suamiku dipindah-tugaskan. Di Semarang, aku tetap menjadi guru SD tempat
anakku bersekolah. Pada hari pertama aku mengajar, aku memperkenalkan diri
kepada murid-muridku dan mengabsen kehadiran muridku. Hari itu ada 3 anak yang
tidak hadir, salah satunya adalah Waskito. Setelah empat hari mengajar, Waskito
belum juga masuk. Aku menanyakan kepada murid-muridku tentang ketidakhadiran
Waskito. Dari murid-muridku, dia mengetahui bahwa teman-temannya tidak menyukai
Waskito, sebab Waskito adalah anak yang kasar, kurang ajar, dan sulit diatur.
Menurut guru-guru yang pernah mengajar kelas tersebut, mereka menganggap
Waskito sebagai murid yang sukar.
Setelah itu, aku mengirim surat
kepada Nenek Waskito. Sore hari yang telah ditentukan, aku mengunjungi rumah
Nenek Waskito. Dari nenek Waskito, aku memperoleh banyak informasi tentang
Waskito. Waskito pernah dipukul oleh ayahnya karena dia membolos. Selama berada
di rumah orangtuanya, dia tidak pernah ditegur dan diberi tahu mana yang baik
dan buruk. Tetapi selama tinggal 1,5 tahun dirumah Neneknya, Waskito bersikap
manis, sopan, sering mengerjakan tugas rumah, masuk sekolah secara teratur.
Hasilnya Waskito menjadi murid yang normal. Rapotnya menunjukan kemajuan.
Namun, orang tuanya mengambilnya kembali. Setelah mendengar semua informasi
mengenai Waskito dari neneknya, aku jadi mengerti perasaan Waskito.
Pada suatu hari, Waskito membunuh
seekor kelinci yang dibawa temannya. Teman-temannya melaporkan pada guru dan aku
langsung mengajak Waskito bicara. Waskito menolak untuk mengobrol dan
menghindar dari ku. Hari demi hari, akui mencoba untuk mendekati Waskito,
mengajaknya untuk berkonsultasi. Lama kelamaan, hati Waskito luluh dan bersedia
untuk berbicara. Seperti kata neneknya, kemarahan dan kesukarannya didorong
oleh hati yang kekurangan perhatian dari keluarganya. Selama tiga bulan keadaan
tenang dan Waskito tidak membuat onar.
Hingga pada suatu hari, Waskito mengamuk saat
jam istirahat. Guru-guru mengusulkan agar Waskito dikeluarkan dari sekolah.
Tapi aku mempertahankan muridku tersebut. Dia meminta waktu satu bulan kepada
sekolah untuk mengubah sifat Waskito yang tidak baik. Kepala Sekolah pun
mengabulkan permintaanku. Sejak kejadian itu, pada waktu istirahat aku lebih sering
berada dikelas. Aku pun sering mengobrol dengan Waskito. Aku merasa lebih dekat dengan muridku tersebut.
Pada raport berikutnya berisi angka-angka normal. Waskito tidak pernah mengacau
seperti yang dilakukannya tempo hari. Pada akhir tahun pelajaran, Waskito naik
kelas. Budenya datang ke sekolah berterima kasih kepada Kepala Sekolah,
guru-guru terutama kepada ku. Atas keuletanku, Waskito menjadi murid yang lebih
dari biasa.
0 komentar:
Posting Komentar